Selasa, 05 Agustus 2008

'Bangganya' Ditabrak Schumi

Jakarta - Tujuh gelar juara dunia Michael Schumacher saat membalap di lintasan F1 membuktikan kepiawaiannya dalam mengemudi. Tapi di Inggris, dia malah menabrak saat melajukan mobilnya.

Minggu (27/7/2008) petang waktu setempat, Schumi mengendarai mobil van Fiat-nya melewati kota Lydd, Inggris. Saat itu Schumi tampaknya tak menyadari di depannya terhampar pagar garasi sebuah toko dealer mobil yang sedang membuka di tepi jalan.

Pagar itu lantas dihajar Fiat Schumi. Seorang karyawan dealer mobil di tempat itu, Martin Kingham (39 tahun), juga melontarkan klaim kalau kakinya terhantam mobil Schumi.

Uniknya, Kingham tak lantas menyadari siapa penabrak dirinya itu. Dia bahkan belum ngeh benar walau petugas polisi yang datang sudah memberitahukan identitas pria di balik kemudi Fiat tersebut.

"Polisi bilang padaku kalau orang ini mengaku Michael Schumacher dan aku bilang, 'Anda tahu, dia tak mirip dengannya'," ujar Kingham seperti dikutip Telegraph.

Tentu saja pada akhirnya Kingham benar-benar sadar bahwa hal itu bukan isapan jempol belaka. Lantas? Dia pun pamer kalau baru saja ditabrak oleh seorang Michael Schumacher.

"Aku kemudian menelepon rekan bisnisku dan bertanya, 'Kamu takkan mengira aku baru ditabrak oleh siapa?' Dia tak percaya padaku. Sebagai penjual mobil kami jelas suka berdusta tapi bedanya kali ini benar-benar terjadi. Asisten Michael datang dan dia pun pergi," yakin Kingham.

Dalam kejadian tersebut, petugas kepolisian yang mendatangi tempat kejadian memutuskan tak mengambil tindakan lebih jauh karena tidak menerima laporan adanya orang yang cedera.

"Petugas memeriksa situasinya, bicara dengan dua pria di tempat kejadian, membantu mereka bertukar detil dan tak ada keterlibatan polisi lebih lanjut yang diperlukan," terang juru bicara Kepolisian daerah Kent.

Pihak Schumi sendiri membenarkan adanya tabrakan. "Ada benturan tapi tak ada yang cedera. Michael bekerja sama dengan polisi. Tak ada lagi yang ingin kami katakan," lugas agen Schumi Sabine Kehme kepada Daily Mirror.

Kris Fathoni W - detiksport

Baca Selengkapnya..

Nadal Nomor 1, Jankovic Belum

Cincinnati - Rafael Nadal akhirnya memastikan menjadi petenis putra nomor satu dunia setelah melaju ke semifinal Cincinnati Masters. Di bagian putri, Jelena Jankovic belum sukses meraihnya.

Di Cincinnati, Sabtu (2/8/2008) pagi WIB, Nadal sukses menyungkurkan petenis Ekuador Nicolas Lapentti di perempatfinal. Tanpa banyak kesulitan berarti, Nadal menang dalam dua set langsung, 7-6, 6-1.

Kemenangan ini mengantar Nadal menggeser posisi Roger Federer dari rangking satu ATP yang sudah dikuasai petenis Swiss itu selama 4,5 tahun terakhir. Nadal akan resmi jadi nomor 1 saat rangking ATP di-update pada 18 Agustus mendatang atau bila dia sukses jadi juara di Cincinnati, Senin nanti.

"Itu adalah laga yang keras," ujar Nadal seperti dilansir Reuters. "Saya sedikit kelelahan, khususnya setelah memenangi titel Toronto dengan berat pekan lalu. Cuaca di sini sangat lembab dan panas. Tetap yang penting saya sudah di semifinal."

"Saya sangat senang karena saya telah berjuang banyak sekali dalam tiga tahun terakhir meski saya senang sebagai petenis nomor dua saya memenangi banyak turnamen. Pastinya, nomor satu adalah sebuah tujuan dan saya senang," papar pemuda 22 tahun itu.

Bila Nadal berhasil, tidak demikian dengan Jankovic yang gagal merebut titel nomor satu dari tangan rekan satu Serbianya, Ana Ivanovic. Di partai perempatfinal Canada Masters, Jankovic ditundukkan Dominika Cibulkova 7-5, 6-2.

Jankovic bisa merengkuh posisi teratas rangking WTA bila berhasil mencapai final. Ia bakal menggeser Ivanovic yang di turnamen yang sama dikalahkan Petra Kvitova di babak kedua.

"Pada saat ini saya tidak layak atas posisi (nomor satu) itu. Saya tidak dalam kondisi terbaik dan tidak dalam level tertinggi saya. Akan butuh waktu bagi saya untuk membaik," aku Jankovic menghibur diri seperti diwartakan Yahoo.

Arya Perdhana - detiksport

Baca Selengkapnya..

Jumat, 01 Agustus 2008

Pernikahan Yang Sukses....

Dalam suatu teater drama rumah tangga terdapat suatu dialog antara seorang istri dan suaminya....


"Aku tidak menikahi-mu karena kamu sempurna...
Aku menikahi-mu karena kamu memberikan
padaku sebuah janji"


Kemudian sang istri melepas cicin perkawinannya dan melihatnya sambil berkata "Janji itu yang menutupi semua kesalahanmu dan janji yang kuberikan itu menutupi setiap kesalahanku. Dua orang yang tidak sempurna menikah dan janji itu yang membuat suatu pernikahan" Dalam setiap pernikahan, tidak perduli bagaimana dua orang saling mengenal satu dengan yang lainnya, masih banyak hal-hal yang tersembunyi!


Cukup sering setiap orang menikah :
- Dengan tidak sepenuhnya mengetahui dirinya sendiri
- Dengan tidak sepenuhnya mengetahui kehidupan ini
- Dengan tidak sepenuhnya mengetahui pasangannya


Apa yang tidak diketahui jauh lebih besar dari apa yang orang itu tahu! Menjadi orang yang setia, mencintai dan mengasihi pasangannya tidak hanya dibutuhkan keberanian dan keyakinan, tetapi juga kesabaran dan hasrat untuk terus belajar dan bertumbuh. Lebih baik bertanya "Aku harus menjadi pasangan yang seperti apa?" daripada bertanya "Pasangan yang seperti apa yang ingin aku dapatkan?"

SUKSES DALAM PERNIKAHAN ITU LEBIH DARI MENCARI ORANG YANG TEPAT. TETAPI MENJADI ORANG YANG TEPAT

Baca Selengkapnya..

Kamis, 31 Juli 2008

Nadal Segera Gusur Federer

Cincinnati Masters
Kemenangan demi kemenangan terus dibukukan Rafael Nadal. Kini kemungkinan menggusur Roger Federer dari ranking satu ATP makin besar dan bakal terjadi dalam waktu dekat.

Tampil di babak kedua Cincinnati Master Series, Nadal tampil dominan untuk melangkah ke babak selanjutnya dengan menumbangkan Florent Seraa 6-0 6-1. Kesempatan untuk meraih enam gelar berurutan tahun ini pun terus terbuka.

Bila sukses menjadi juara, Nadal akan mendapat tambahan poin sebesar 500 angka. Dengan penambahan sebesar poin tersebut, dan jika Federer takluk di perempatfinal, otomatis petenis Spanyol itu akan langsung memuncaki daftar ranking ATP.

Capaian itu yang kini ditunggu banyak pihak, mengingat Federer sudah bertahun-tahun merajai papan ranking tenis putra. Pecinta tenis sepertinya ingin melihat nama baru di puncak ranking tersebut.

Meski sedikit menaruh harapan bisa mewujudkan banyak ekspektasi itu, Nadal tak ingin terlalu bertindak terburu-buru yang akhirnya malah menjadi blunder.

"Sekarang ini saya hanya berkonsentrasi pada Cincinnati. Posisi nomor satu masih sangat sulit diraih, jadi saya akan terus berusaha sekuat tenaga dan mempertahankan permainan saya seperti empat bulan terakhir," tandasnya seperti dikutip Reuters, Kamis (31/7/2008).

Tekanan untuk Federer? Bisa jadi. Performa buruk yang ditunjukkannya di laga pertama, yang nyaris membuatnya tersingkir, adalah indikasi awal. Apalagi lawan petenis Swiss itu di babak kedua, Ivo Karlovic, memiliki senjata andalan, yaitu servis keras dan keuletan bermain.

(Mohammad Yanuar Firdaus - detiksport)

Baca Selengkapnya..

Rabu, 30 Juli 2008

1 Ons Bukan 100 Gram

Pendidikan Yang Menjadi Boomerang.

Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal. Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100 gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan, teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100 g. Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan ons(bukan ditulis ounce) adalah satuan berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.


Salah Kaprah Turun Temurun

Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan ukur di Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi . Ternyata, pihak Dir. Metrologipun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram. Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia. Untuk ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan *Ons bukanlah bagian dari sistem metrik* ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan "ons" dan "pound".

Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, ternyata *tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang legal* atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional, *tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus **Indonesia**.* Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun. Sampai kapan mau dipertahankan?


Bagaimana Kesalahan Diajarkan Secara Resmi?

Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata,
kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena akan menyesatkan.

Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. "Racun" ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini.

Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberi-kan petunjuk resmi.


Tanggung Jawab Siapa?

Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka; acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui / diberlakukan secara internasional, yang menyatakan bahwa : 1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram?

Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang? Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ?
Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini?

Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan *ons yang keliru* ini, sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang pemakaian satuan "ons" dalam transaksi legal, maka konsekwensinya ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas). Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound (Depdiknas)= 500 gram.
Bagaimana "Ons dan Pound *(Depdiknas)*" ini dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ? Siapa yang mau pakai?.


Hentikan Segera Kesalahan Ini

Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar. Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesalahannya.

Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera dihentikan.

Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia. Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu memperbaiki kesalahan. Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal Takar-Timbang-Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi sedikitpun terhadap Direktorat
Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia. Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Metrologi. Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan upaya yang sangat berat. Janganlah malah diperberat dengan *pelajaran sampah* yang justru bakal menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh dengan tantangan berat.


Acuan Mana Yang Benar?

Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik, dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford, dll. *(maaf, ini bukan promosi)* menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu diragukan lagi. Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.

Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).

1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)
1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)
1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram. Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malpraktek?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi,kalau malpraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan.(*ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan, bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali terjadi)


Kalau Bukan Kita Yang Menyelamatkan, Lalu Siapa?

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang tua dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan "ons dan pound yang keliru" dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran sistem timbang dgn satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta *rumus konversi yang benar*. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.

(Artikel dikutip dari sebuah mailing list)

Baca Selengkapnya..

Yang Terlupakan.. (Old Story)

Pernah dengar nama Yudistira Virgus? Atau, Edbert Jarvis Sie? Atau, Ardiansyah? Andika Putra? Atau, Ali Sucipto?

Kalau Anda menganggap nama-nama itu terasa asing di telinga, jangan berkecil hati. Maklumlah, mereka memang tidak cukup diekspos media massa. Jangankan tampang, nama mereka saja tidak hadir di halaman satu surat kabar, di halaman depan tabloid dan majalah, apalagi di prime time siaran televisi dan radio kita.

Dibandingkan Veri, Kia, dan Mawar (tiga finalis AFI), misalnya, pemberitaan soal Yudistira dan kawan-kawan bisa dibilang 'cuma seujung kuku'.


Padahal, prestasi mereka sangat membanggakan. Mereka berlima semua siswa SMA membawa Indonesia menempati peringkat lima besar dalam Olimpiade Fisika Internasional di Pohang, Korea Selatan, yang baru berakhir Kamis lalu (19 Agustus 2004).

Dalam ajang prestisius yang diikuti 73 negara ini, Indonesia hanya berada di bawah Belarusia, Cina, Iran, dan Kanada. Negara-negara besar seperti AS, Jepang, atau Jerman dilibas. Yudistira merebut medali emas untuk kategori total ujian teori dan praktik (eksperimen), sementara keempat teman lainnya merebut medali perak dan perunggu.

Tapi, begitulah Indonesia.

Pencapaian dalam kemampuan menguasai atau mengembangkan ilmu pengetahuan tidak memperoleh perhatian besar. Remaja Indonesia, sejak kecil, diajarkan untuk justru mengagumi hal-hal tidak mendasar.

Lihat saja bagaimana saat ini ribuan remaja Indonesia berduyun-duyun mengikuti berbagai ajang kompetisi adu tarik suara atau bahkan adu kecantikan. Impian 'menjadi bintang' terus dipompakan ke benak bangsa ini.

Program seperti AFI dan semacamnya tidaklah buruk. Tapi, skalanya sudah menjadi begitu besar dan sama sekali tidak proporsional sehingga bisa menyesatkan rentang pilihan yang terbayang di benak bangsa ini.

Indonesia adalah negara miskin dan terbelakang. Salah satu syarat utama untuk mengatasi ketertinggalan ini adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, negara ini membutuhkan penghibur (entertainer) dalam jumlah 'secukupnya' saja.

Kita tentu perlu mensyukuri lahir dan tumbuhnya sebuah generasi muda yang cantik, gagah, pintar menari dan bernyanyi, atau berakting; namun kita memerlukan lebih banyak lagi orang pintar.

Baca Selengkapnya..

Akhirnya Mulyono Bisa ke ITB (Old Story)

Perawakannnya kecil dan kurus, penampilannya sederhana, dan bicaranya agak malu-malu. Ia berasal dari sebuah desa yang dikelilingi ladang jagung di Dusun Ngampel Kurung, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sekalipun tidak banyak orang yang tahu, ia adalah seorang yang turut mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional.

Mulyono (18) adalah salah seorang peraih medali perunggu dalam Olimpiade Biologi Internasional (IBO) 2004 di Brisbane Autralia, Juli 2004. Sebelumnya, ia meraih penghargaan honorable mention DALAM IBO 2003 di Belarusia. Untuk sampai ke tingkat internasional, Mul, demikian panggilan akrabnya, telah menjadi juara di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.

Prestasi membanggakan itu membuatnya diterima di Program Studi Mikrobiologi Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program ujian saringan masuk (USM). Kenyataan itu bukannya membuat dia gembira, malah bingung. “Waktu dikasih tahu saya diterima, seketika dhueeeeng .. Saya langsung berpikir mengenai biaya SPP dan biaya hidup disana” paparnya ketika ditemui di rumahnya hari Minggu (1/8) lalu.

Mul bercerita, kesulitan terbesar yang dialami selama hidupnya selalu berkenaan dengan masalah keuangan. Ia berasal dari keluarga sangat sederhana. Sejak ayahnya meninggal, ketika ia masih berusia selapan (35 hari), ibunya harus bekerja keras di Surabaya, sementara Mul hanya tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Karena pada dasarnya ia anak yang pandai, sejak bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Srikaton I hingga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Pare, Mul selalu mendapatkan beasiswa, untuk meringankan beban biaya sekolah yang harus ditanggung ibunya.

“Beasiswa itu hanya cukup untuk membayar BP3, sedangkan untuk buku-buku harus mengeluarkan uang sendiri. Saya bekerja sejak Mul kecil hingga sebesar sekarang, dan jarang bertemu dengannya,” tutur sang ibu, Mujiyati, yang ditemui beberapa hari sebelumnya.

Ia bercerita tentang keinginan besar Mul untuk sekolah di SMAN 2 Pare yang merupakan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) terbaik di Kabupaten Kediri. “Ia tidak mau sekolah kalau tidak di SMAN 2 Pare” katanya.

Maka, dengan berbekal uang Rp 2.200 setiap hari, Mul mengayuh sepeda yang dia miliki sejak kelas empat SD menuju ke jalan besar di Maduretno - yang berjarak sekitar empat kilometer - ke tempat angkutan yang akan membawanya ke Pare. Sepedanya dia titipkan dengan ongkos Rp 200. Lalu ia naik angkutan umum ke sekolahnya - Sekitar 10 kilometer jauhnya - dan untuk itu harus membayar Rp 2.000 untuk pergi pulang. “Ia tidak membawa uang untuk jajan, hanya cukup untuk naik angkutan kota. Biasanya, untuk sarapan saja dia makan masakan yang saya masak sore sebelumnya,” tutur Mujiyati menceritakan.

Waktu itu kehidupan begitu sulitnya bagi mereka, tetapi Mul tidak pernah mengeluh. Begitu seringnya Mul bolak balik ke Bandung membuat ibunya berhenti bekerja untuk menemani neneknya. Sekarang ia mengerjakan apa saja di ladang para tetangganya. “Waktu tahu Mul diterima di ITB, saya juga ikut bingung. Saya sudah tidak bekerja lagi di Surabaya, sementara biaya yang ada belum cukup,” kenang Mujiyati.

Biaya yang harus dibayarkan untuk masuk ITB sebesar Rp 45 juta, sementara biaya persemester Rp 1,7 juta. Belum lagi biaya untuk kos setiap bulan dan biaya makan setiap harinya. Jika biaya itu tidak bisa dipenuhi, ia terancam tak bisa memenuhi cita-citanya yang baru, menjadi seorang peneliti.

Sebelumnya ia sangat ingin menjadi dokter. Namun cita-cita mulia itu harus ditinggalkan karena ia tidak bisa lolos di Penjaringan Bibit Unggul Berprestasi (PBUB) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. “Saya heran, mengapa tidak bisa lolos. Padahal, syarat utamanya adalah juara olimpiade nasional atau finalis olimpiade internasional. Waktu itu saya memenuhi kedua kriteria tersebut, tapi entah mengapa tidak diterima,” kenang Mul dengan nada penasaran. Padahal, jika diterima di PBUB itu, semua biaya kuliah selama 4 tahun gratis. Ia sudah membayangkan beberapa kemudahan yang bisa dinikmatinya, apalagi biaya hidup di Yogyakarta tak setinggi di Bandung.

Namun cita-cita itu harus kandas dan Mul harus banting setir ke ITB yang kemudian membawanya ke berbagai kebingungan. Akan tetapi, kebingungan itu tidak membuatnya putus asa. Mul mengajukan beasiswa ke PT Sampoerna, yang juga berakhir dengan penolakan. “Mungkin mereka salah tangkap, mengira saya meminta beasiswa untuk kuliah S1 di luar negeri. Karena itu, mereka memberi syarat, saya harus meraih medali emas di olimpiade international itu untuk bisa mendapat beasiswa dari mereka. Padahal yang saya inginkan adalah beasiswa untuk kuliah S1 di dalam negeri,” paparnya.

Mul sendiri selalu menabungkan uang yang diperolehnya dari berbagai kompetisi yang diikutinya. “Saya mendapat uang saku, uang transpor selama di pembinaan, juga dari dari juara olimpiade. Semua saya tabung. Saya harus sangat hemat,” kata Mul. Namun sehemat-hematnya Mul mengeluarkan uang, tetap saja tabungannya tidak mencukupi biaya kuliah persemester dan biaya hidup di Bandung.

Api semangat Mul tidak padam, apalagi dukungan dari orang-orang di sekitarnya sangat besar. “Anak itu memang pandai dan selalu juara kelas. Mul juga aktif dan lincah meskipun agak tertutup. Ia juga senang membantu menerangkan teman-temannya jika ada yang bertanya tentang berbagai pelajaran, sampai kadang-kadang merelakan jam istirahatnya ,” ujar guru pembimbing Biologi SMAN 2 Pare, Isrowiyati.

Dengan sukarela, para guru pembimbing mengarahkannya dan membantu kebutuhannya jika Mul akan berangkat ke Bandung untuk pembinaan di ITB. Para guru pembimbing adalah tempat bertanya bagi Mul. Kepada mereka, Mul bisa berterus terang tentang berbagai hal, termasuk kesulitan yang dialaminya. “Kami sedang mengupayakan bantuan dari berbagai pihak, seperti Dinas Pendidikan. Karena kepada dinas sedang sakit, belum ada kelanjutannya. Kabar terakhir, alumni SMAN 2 Pare dan SMAN 2 Kediri bersedia memberikan bantuan untuk biaya hidup Mul sampai tamat di Bandung,” ujar kepala SMAN 2 Pare Sukadi.

Sekarang, Mul boleh berlega hati. Banyak pihak sudah bersedia membantunya. Ia tidak lagi berpikir tentang uang yang harus dia keluarkan untuk biaya kuliah maupun biaya hidup selama di Bandung. Setidaknya, ia bisa mulai mencapai idealismenya untuk menjadi orang yang berguna bagi banyak orang. “Setidaknya apa yang saya hasilkan bisa membuat orang lain senang meskipun mereka tidak mengenal saya. Dan itu sudah membuat saya puas,” ujar Mul mantap.

Mulyono, dengan motto hidupnya “Badai pasti berlalu” penuh percaya diri menyongsong hidupnya. Ladang-ladang jagung di sekitar desanya menunggu untuk diteliti. “Saya percaya, jika sekarang saya berada dalam kesulitan, beberapa jam, menit, atau detik lagi saya akan keluar dari masalah itu,” katanya menutup perbincangan.

Dikutip dari Kompas, Rabu 4 Agustus 2004 hal. 1

Baca Selengkapnya..